Minggu, 26 April 2009

promosi tata busana FT UNY

PENGEMBANGAN PRODUK FASHION BER ADDED VALUE

Dukungan teknologi sangat diperlukan untuk meningkatkan produktivitas dan kreativitas dalam menghasilkan inovasi produk fashion. Perkembangan teknologi pembuatan pakaian jadi sudah demikian pesatnya. Di Amerika telah ada mesin pengukur tubuh dengan sistem digital yang dikembangkan oleh perusahaan TC2, mesin ini mampu mengambil lebih dari 200 titik tubuh untuk membuat pola pakaian yang pas di badan dalam waktu cepat. Mesin ini bekerja dengan empat kamera yang mengambil data digital. Informasi dari kamera ini diproses dalam peranti lunak (software) yang mengeluarkan 200 ukuran tubuh secara akurat dalam waktu kurang dari 1 menit. Ukuran tersebut langsung dibuatkan pola di layar komputer sehingga pembeli dapat langsung melihat seperti apa pakaian itu akan menempel di tubuhnya (Kompas,16 Mei 2004). Lectra perusahaan di Perancis juga memproduksi sistem pengambil ukuran tubuh secara digital yang mampu mengambil ukuran tubuh dengan tingkat kepresisian yang tinggi hanya dalam beberapa detik. Mesin tersebut dinamai Lectra 3D body scanning/3D Body Measurement (Lectramag,2003:16).

Pada pameran internasional mesin tekstil yang digelar tiap 2 tahun sekali, ”Bandung Intertex 2004” di Bandung Jawa Barat, dapat kita saksikan berbagai peralatan teknologi pembuatan pakaian jadi yang sudah demikian canggih. Dari mesin pelipat pakaian otomatis, mesin bordir komputerize, berbagai mesin jahit high speed dengan sistem otonomasi dan otomasinya serta berbagai program CAD/CAM (Computer Aided Design/Computer Aided Machine) untuk pembuatan disain dan pola busana hingga pemotongan kain telah tersedia untuk mendukung produktivitas dan kreativitas dalam mengembangkan produk fashion yang inovatif dan bernilai tambah tinggi. Di pameran tersebut juga digelar berbagai mesin pemintalan, perajutan, pertenunan, dan penyempurnaan tekstil yang sudah demikian canggih dengan efisiensi tinggi untuk menciptakan produk tekstil berkualitas guna mendukung pengembangan produk fashion. Hal ini berarti semakin tinggi pula tuntutan kompetensi SDM yang harus dihasilkan oleh berbagai lembaga pendidikan yang terkait dengan industri TPT termasuk lulusan program studi Tata Busana di berbagai perguruan tinggi. Fakta tersebut juga bermakna bahwa sangat perlu adanya upgrading berbagai sarana dan prasarana praktik di berbagai lembaga pendidikan tinggi busana agar mampu memenuhi kebutuhan SDM yang kompeten di industri.

Tak kalah hebatnya perkembangan di bidang teknologi serat sintetis. Perkembangan serat sebagai bahan dasar pembuatan tekstil untuk produk fashion sangat memegang peranan penting dalam menunjang kemajuan industri mode. Jika kita cermati produk-produk Dupont (lihat di www.invista.com) seperti Lycra, Cordura, Tactel, Thermolite, Coolmax dan lainnya menawarkan berbagai nilai tambah tinggi sebagai bahan Fashion. Lebih fantastis lagi beberapa produk tekstil yang disebut Smart Fabric seperti Intelligent knee-sleeve yang dikembangkan di Intelligent Polymer Research Institute dan Biomedical Science di Universitas Wollongong beker­jasama dengan CSIRO Textiles and Fibre Technology (masing-masing adalah lembaga pendidikan tinggi dan lembaga penelitian terkemuka di Australia) telah mengembang­kan suatu pembungkus lutut yang biasa dike­nakan para atlet dengan fungsi dan kemam­puan khusus sebagai alat berlatih untuk me­lakukan gerakan-gerakan yang aman, efisien dan efektif. Pembungkus tersebut dilapisi dengan bahan polimer konduktif dan dileng­kapi serangkaian sensor yang dapat mende­teksi perubahan bentuknya. Pembungkus akan mengeluarkan bunyi bila tekukan lutut ada pada posisi terbaik (Mohamad Widodo, 2004). Hal senada juga diungkapkan oleh Mukhes Khumar Singh (2004) bahwa dewasa ini telah dikembangkan smart textile (tekstil cerdas) sehingga menghasilkan bahan tekstil yang memiliki keunggulan dan fungsi khusus di berbagai bidang kehidupan. Beberapa contoh smart textile disampaikan oleh Muskher Khumar Singh (2004) diantaranya adalah:

1. Ultraviolet Protective Clothing: The clothing which has an ability to absorb or reflect the harmful ultraviolet rays in terms of passive heat retention by numerous pores in textile product by means of bulked and micro-fibre constructions and use of UV absorbing chemicals. UV protective clothes can ascent the Ultraviolet Protection Factor (UPF) for wearer.

2. Chomeleonic textiles: S.Nanta from Toray Industries reported development of a temperature sensitive fabric with trade name SWAY in 1988 by introducing microcapsules, diameter 3-4 mm to enclose heat sensitive dyes, which are resin coated homogeneously over fabric surface. The microcapsule was made of glass and contained the dyestuff, the chromophore agent (electron acceptor) and colour- neutralizer (alcohol etc.) which reacted and exhibited colour / decolour according to the environmental temperature. SWAY was multicolor fabric, with basic 4 colours and combined 64 colours. SWAY can reversibly change colour at temperature greater than 5°C and is operable from - 40 to 80°C.

3. A team at Georgia Institute of Technology developed a smart shirt embedded with sensors for electrocardiogram (ECG), heart rate , temperature, voice reading. Sensors collect all information from various parts of the wearer’s body, then send to pager sized device attached to the waist portion of the shirt.

Implementasi produk Smart Fabric/Smart Textile di Indonesia boleh dikatakan masih sebatas wacana ataupun baru menjadi wawasan teknologi namun tetap perlu kita cermati dan antisipasi untuk merancang pengembangan produk fashion ke depan. Hal ini mengindikasikan kemajuan IPTEKS akan sangat mempengaruhi terciptanya berbagai produk fashion bernilai tambah tinggi. Kita bisa cermati beberapa fenomena, seperti ditemukannya serat sintetis dengan elastisitas tinggi maka berkembanglah trend “baju ketat”, di saat ditemukannya senjata maka terpikir untuk membuat rompi anti peluru, di saat orang hendak ke bulan terpikir bagaimana disain bajunya untuk menembus ruang angkasa, di saat banyak bom terpikir bagaimana membuat baju anti ledakan bom, disaat diketahui lapisan ozon mulai menipis dibutuhkan baju yang mampu melindungi dari sinar ultraviolet, di saat kesadaran akan pentingnya penampilan diciptakan baju-baju yang mampu membentuk /memperbesar bagian-bagian tubuh tertentu (lihat iklan yang ditayangkan di TV Media) (Noor Fitrihana & Triyanto, 2005).

Ada beberapa hasil penelitian mahasiswa STTT Bandung yang dapat dijadikan sumber ide untuk memberikan nilai tambah pada produk fashion untuk peningkatan kualitas hasil karya mahasiswa pendidikan bidang busana dengan memberikan sentuhan teknologi pada bahan tekstil untuk mendukung sentuhan seni pada karya busana yang diciptakan . Diantaranya adalah:

1) Pakaian Dalam Pria Anti Bakteri dan Tahan Kotor

Peneliti: Mariati Sihotang, Megie Yunita, Midian Pasaoran Napitupulu, Mulyono.

2) Celemek Bayi Tahan Kotor

Peneliti : Achmad Fadjry, Anita Puspita, Depi Natalia P, Emma Sukmawati

3) Mukena Katun Tahan Kusut dan Bebas Jamur Dengan DMDHEU dan Asam Benzoat. Peneliti : Anita Anathasia, Anita Ris Herliana, Dian Rosdiana, Elsa Dewi Sulastri.

4) Penyempurnaan Tahan Api Untuk Pakaian Seragam Industri Baja Dengan Senyawa Organik Fosfor. Peneliti :Shinta Citra N, Taufiq F, Wawan G, Yanti R

(Noor Fitrihana, 2005)

Dalam menghadapi pasar bebas industri TPT harus mampu menghasilkan produk tekstil yang berkualitas, halus dan indah, high function, inovatif dan kompetitif untuk mendukung pengembangan produk fashion guna membangun Indonesia Fashion Image dengan brand dalam negeri. Demikian juga tantangan yang dihadapi penyelenggara pendidikan bidang busana harus mampu menyediakan SDM berkualitas dan kompeten di bidang busana dari aspek disain, material, teknologi dan nilai fungsi produk fashion di berbagai bidang kehidupan sehingga mampu menciptakan tren produk fashion di pasar domestik dan internasional. Yang perlu disadari untuk menghasilkan produk dan SDM berkualitas dibutuhkan hubungan sinergis antara dunia usaha dan industri dengan lembaga pendidikan.

Pendekatan Kolaboratif dan Integratif dalam Mengembangkan Produk Fashion.

Keunggulan (daya saing) produk fashion dapat ditinjau dari aspek disain, material, dan nilai fungsinya serta kesesuaiannya dengan tren mode yang sedang berkembang. Hal ini menuntut ketersediaan SDM yang adaptif terhadap perkembangan IPTEKS, produktif dan kreatif untuk mampu mengikuti, meramalkan dan menciptakan tren mode di bidang fashion. Perlu dipahami perancangan produk fashion tidah hanya diartikan untuk mendisain busana saja namun juga bagaimana memproduksinya hingga memasarkannya. Agar dapat menghasilkan produk fashion yang kompetitif maka dalam perancangan produk fashion dibutuhkan pendekatan yang integrative dan kolaboratif. Untuk menghasilkan produk fashion tersebut dibutuhkan dukungan teknologi tinggi untuk mendukung produktivitas dan kreativitas sehingga mampu memenuhi time to market secara tepat dan cepat mengingat lyfe cycle produk fashion yang begitu pendek.

Seperti yang diungkapkan oleh Jadin C Jamaludin (2002) bahwa pengembangan produk fashion membutuhkan konsep integratif untuk menciptakan citra mode Indonesia. Misalnya setelah berkembangnya pusat-pusat mode dunia, seperti Paris, Milan, New York, dan London, banyak jenis usaha yang menunjang mode ikut berkembang. Jenis usaha lain yang ikut berkembang dalam mode tersebut adalah para stylist dan perancang, produsen dan usahawan serat dan benang, produsen dan usahawan kain, maupun bahan pencelupan warna. Jadi, perkembangan mode bukanlah tergantung pada satu jenis usaha, tetapi oleh semua komponen dunia usaha tersebut di atas. Di Indonesia arah menuju mode yang integratif masih jauh dari harapan, setiap komponen usaha dalam rangka penciptaan citra mode masih berjalan sendiri-sendiri.

Uraian tersebut dapat menjelaskan bahwa pengembangan produk busana jika ditinjau secara integrated akan menunjukan bahwa pembuatan busana tidak semudah dan sesederhana seperti yang dibayangkan masyarakat pada umumnya (Noor Fitrihana, 2005). Contoh yang lebih praktis misalnya untuk merancang baju pembalap F1 (Formula 1) tentu selain dituntut disainnya yang trendy dan fashionable, materialnya juga harus dipilih yang cukup elastis sehingga mampu melekat pas di tubuh namun tetap nyaman dikenakan. Bahan harus berkekuatan tinggi dan tahan api sehingga jika pembalap mengalami tabrakan dalam kecepatan tinggi, baju mampu menahan benturan, tidak mudah sobek dan tidak mudah terbakar (tahan api) sehingga pembalap tidak lecet ataupun terluka parah. Dengan memakai baju tersebut pembalap akan merasa aman walaupun melaju dalam kecepatan tinggi sehingga mampu berprestasi dengan baik. Ditinjau dari aspek teknologi tentunya untuk membuat baju pembalap F1 dibutuhkan berbagai pengetahuan ilmu dan teknologi terkait. Ditinjau dari segi fungsi, baju pembalap dirancang di samping memiliki nilai fungsi penampilan (fashionable) juga memiliki nilai tambah yaitu fungsi perlindungan (keselamatan) dan prestasi. Demikian pula kemampuan untuk merancang baju pemadam kebakaran yang anti api, pakaian yang mampu membentuk bagian tubuh tertentu, rompi anti peluru, perancangan busana yang mampu menciptakan tren mode dan sebagainya. Untuk mampu merancang busana semacam ini selain dibutuhkan SDM yang kreatif juga yang memiliki pengetahuan teknologi yang cukup kompleks.

Pendekatan kolaboratif dikemukakan oleh Ade Sudrajat dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia yang dikutip Noor Fitrihana (2005) bahwa ada sejumlah strategi agar industri kecil pakaian jadi kecipratan kue pasar tekstil domestik dan juga internasional. Pertama, menciptakan pola sinergi antara unsur terkait mulai dari pemerintah, industriawan, dan lembaga pendidikan. Kedua, kaitan yang lebih produktif antara designer, industri tekstil, produsen serat dan benang serta dyeing (pewarnaan) perlu dioptimalkan agar upaya menciptakan fashion image (citra busana) di dunia internasional dapat tercapai. Ketiga, kerja sama lebih berkualitas antara media cetak dan elektronik dengan dunia fashion (busana) perlu segera diwujudkan dalam rangka menciptakan Indonesia fashion image di dunia internasional.

Melalui pendekatan integrated science dan kolaboratif ini pula Dupont sebuah perusahaan yang cukup tersohor di bidang inovasi serat sintetik mampu berkembang pesat dan menghasilkan berbagai bahan tekstil bernilai tambah tinggi. Seperti yang diungkapkan oleh Tom Conelly (DuPont Senior Vice President and Chief Science and Technology Officer) sebagai berikut

Historically DuPont has been based in chemicals and materials and the related disciplines. For us, Integrated Science means adding biology capabilities to our traditional strengths. I stress that we’re adding biology. It’s not a question of trading our position in chemicals and materials for biology. It’s bringing on that additional capability and then looking for opportunities where more than one science comes together. That’s where we’ll find our future opportunities.

Lebih lanjut Tom Conelly mengungkapkan :

“The third focus is a more collaborative approach to research. Our largest and most visible example of this approach is our alliance with the Massachusetts Institute of Technology in the area of bio-based materials. We already have a number of smaller, but equally important, academic collaborations underway to develop new technologies. We will partner with people in our industries to develop technology, but also to commercialize products. We will work with customers to develop technology in downstream collaborations. We will be involved in government partnerships-certainly in semiconductors and biology”. (www.Dupont.Com)

Nyoman Pujawan (2005) mengungkapkan kunci kesuksesan Zara sebuah perusahaan pakaian jadi di Spanyol yang cukup sukses mengembangkan produk Fashion ke pasar dunia adalah karena adanya integrasi keseluruhan proses dari desain, pengadaan, produksi, distribusi dan retailing. Zara berkembang pesat karena dukungan teknologi seperti program CAD (Computer For Aided Design) dan sistem kolaborasi dan komunikasi efektif diantara staffnya yang terdiri dari para disainer, spesialis pasar (termasuk bagian produksi), spesialis buyer, dan manajer toko selama pengembangan disain busana yang akan diluncurkan ke pasar. Dengan sistem kerja yang dikembangkan ini Zara dikenal sebagai perusahaan yang paling sukses menerapkan Quick Respon. Terkait dengan dukungan teknologi, Lectra salah satu produsen produk CAD/CAM untuk industri garmen menyatakan produknya telah digunakan oleh lebih dari 10.000 industri garmen terkemuka di seluruh dunia. Diantaranya beberapa merk busana yang cukup terkenal seperti Versace, Kenzo, Calvin Klein, Yves Saint Laurent, Hugo Bos, Esprit dan sebagainya (Lectra Annual Report 2000). Dari data ini bisa kita simpulkan bahwa untuk mampu menguasai pasar garmen dunia perlu dukungan teknologi tinggi dan SDM yang kompeten, produktif dan kreatif serta sistem kerja yang integratif dan kolaboratif .

Dalam kajian yang lebih luas untuk proses produksi dan perancangan produk apapun (termasuk fashion), Adyana Manuaba (2005) menyatakan pentingnya pendekatan total yang meliputi pendekatan Teknologi Tepat Guna (TTG) dan pendekatan Sistemik, Holistik, Interdisipliner dan Partisipatif (SHIP) dalam setiap perancangan produk. Lebih lanjut Adyana Manuaba (2005) menjelaskan bahwa pendekatan TTG adalah teknologi yang akan digunakan harus dikaji secara komprehensif yang melalui 6 kriteria yaitu harus secara teknis, ekonomis, ergonomic dan sosio budaya bisa dipertanggungjawabkan, hemat akan energi dan tidak merusak lingkungan. Sedangkan pendekatan SHIP bahwa setiap pemecahan masalah harus dikaji secara sistemik, melibatkan berbagai sistem terkait secara bersama-sama/holistic, memanfaatkan berbagai disiplin ilmu yang terlibat dan harus ada partisipasi dari konsumen (masyarakat) atau mereka yang akan terikat dengan permasalahan yang ada sejak perencanaan/perancangan. Hal ini menuntut kinerja bersama dan kerjasama antara pihak-pihak terkait secara integratif dan kolaboratif untuk mewujudkan struktur industri fashion (daya saing) yang kuat sehingga industri TPT semakin bersinar di pasar global.

Berdasar uraian di atas, untuk menghasilkan produk fashion yang kompetitif dan berdaya saing tinggi guna menghadapi persaingan global sangat urgen untuk membangun kolaborasi antara pihak-pihak terkait di bidang fashion. Mengingat SDM adalah kunci untuk memenangkan persaingan global maka kerjasama yang sinergis antara industri dan lembaga pendidikan perlu segera dibangun. Perlu diingat Output lembaga pendidikan yang sesuai kebutuhan industri hanya akan terwujud jika pelaksanaan pendidikan dipacu dan didukung oleh industri dan industri hanya akan eksis jika didukung ketersediaan SDM yang berkualitas dari lembaga pendidikan. Oleh karena itu perlu pola kemitraan (partneship) yang sinergis dan bersimbiose mutualisme. Banyak model kerjasama yang dapat dikembangkan dari resources sharing, program penelitian, peningkatan SDM, magang kerja dan lainnya baik dengan ikatan maupun tanpa ikatan (MoU), dalam konteks bisnis maupun sukarela. Yang perlu diingat adalah kerjasama harus memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak (simbiose mutualisme) sehingga salah satu pihak tidak merasa terugikan akibat kerjasama tersebut.